Jumat (21/7/2017) sore itu, Agus Bei, terlihat sibuk menyambut beberapa wisatawan dari luar Balikpapan yang menyambangi kawasan Mangrove Center Graha Indah, Balikpapan Utara.
Puluhan orang datang berkunjung ke mangrove center ingin berkeliling sungai menikmati rindangan mangrove dan primata Bekantan.
Tiada sungkan, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini memberikan edukasi lingkungan kepada pengunjung. Ini dilakukan sebelum para wisatawan itu naik perahu berkeliling hutan mangrove.
Selama ini, di seantero Balikpapan, Agus sudah dikenal sebagai pencetus sekaligus pengelola Mangrove Center Kelurahan Graha Indah.
Kehadirannya di kawasan mangrove memiliki sejarah yang memilukan, dihujat hingga rela mau banting tulang demi vegetasi mangrove.
Sebelum Mangrove Graha Indah ini menjadi lokasi ekowisata favorit dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru. Dahulunya berstatus kritis, tidak serupa layaknya hutan mangrove yang sesungguhnya.
Dia ingat betul, pada 1998, mangrove di Graha Indah kondisinya sangat buruk. Banyak lahan mangrove rusak.
Mangrove banyak tercerabut dari tanah, lahan basah banyak yang gundul. Kerusakan lahan mangrove di Giri Indah ini sekitar 40 persen dari total 150 hektar.
“Saya datang kondisi sudah parah. Rusak sekali. Saya langsung terpanggil untuk tanam-tanam,” ungkapnya.
Kondisi kritis lahan mangrove tidak terlepas dari keserakahan beberapa orang tertentu yang menginginkan kenikmatan sesaat. Ada pihak yang ingin menjadikan kawasan mangrove beralih fungsi sebagai kawasan pemukiman.
Agus menolak tegas apa pun tindakan yang mengancam kelestarian mangrove. Dia berjuang mengadang setiap gerakan yang akan berupaya mengalihfungsikan mangrove. Tentu saja melalui aksi nyatanya dengan menanam dan membersihkan kawasan mangrove, serta sesekali bersosilisasi mengenai manfaat terbesar mangrove Graha Indah.
Waktu itu, Agus tidak banyak berharap kepada bantuan pemerintah. Upaya mengatasi lahan kritis mangrove, Agus melakukan secara mandiri. Jerih payahnya terkuras maksimal. Tenaga dan waktu dia gunakan untuk normalisasi lahan mangrove.
“Saya cari bibit-bibit di sekitaran. Mencari yang masih bagus. Ketemu pohon mangrove yang tumbuh kembang bagus saya ambil bibitnya. Saya tanam lagi ke tampat yang lain, yang di lahan rusak,” katanya.
Pembiayaan yang dicurahkan Agus untuk mengelola mangrove Graha Indah semua berasal dari kantong pribadinya.
“Saya punya usaha advertising. Punya uang kelebihan dari kerja saya dari advertising saya gunakan untuk kembangkan mangrove,” tuturnya.
Pertama kali memulai merapikan mangrove dia lakukan secara sendiri. Dilakukan saban hari tanpa ada kata libur. Pergi menggelandang berkeliling merawat mangrove tanpa dibantu orang lainnya. Sampai pada akhirnya, ada warga yang mengira, kalau Agus sudah mengalami sakit jiwa.
“Dibilang saya kurang kerjaan. Dibilang perusahaan saya sudah bangkrut, stres. Saya masuk ke air, kena becek lumpur, menanam mangrove, saya dibilang sudah gila,” ungkap pria kelahiran 28 September 1968 ini.
Namun warga yang memberi cap buruk itu, tidak membuat Agus patah arang. Saat dipandang buruk, sebaliknya pria berkumis tebal ini semangatnya semakin menggebu-gebu.
Rasa percaya diri Agus semakin tinggi, suara hatinya berkeyakinan apa yang dilakukannya merupakan jalan yang benar, yang suatu saat akan berbuah baik bagi dirinya dan orang lain.
“Orang menghina saya itu saya anggap biasa. Saya anggap sebagai cambuk untuk tambah semangat,” tutur Agus.
Dan terbukti hingga kini, mangrove Graha Indah ini sering dikunjungi warga. Wajah mangrove Giri Indah telah bertumbuh rindang. Bekantan mulai bermunculan kembali. Dahulu saat lahan kritis, binatang Bekantan sulit ditemui.
Setelah kawasan mangrove normal kembali, Bekantan pun kembali merebak. Logikanya ada mangrove maka ada bekantan.
Mangrove merupakan rumah tinggal sekaligus sumber makanannya si bekantan.
“Sekarang bekantan yang ada di Graha Indah ini diperkirakan ada 600 ekor,” ujarnya.