Oleh: Gustav Perdana
Belum lama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengirimkan surat ke salah satu LSM lingkungan terkemuka, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Surat tertanggal 12 Januari 2018 itu berisi draf usulan batas emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), terutama yang berada di sistem Jawa-Bali. Banyak pihak mengatakan, jika draf itu berhasil menjadi peraturan setingkat Peraturan Menteri, akan berpotensi mengubah skema investasi proyek setrum di dalam negeri.
Draf aturan membagi tiga batas emisi. Pertama, emisi untuk PLTU yang beroperasi sebelum 1 Desember 2008 adalah 502 sebesar 550 mg/Nm3, N02 sebesar 550 mg/Nm3, dan PM maksimal 75 mg/ Nm3. Kedua, untuk PLTU yang direncanakan dan beroperasi setelah 1 Januari 2009-31 Desember 2020, batas 502 sebesar 400 mg/Nm3, N02 sebesar 300 mg/Nm3, dan PM maksimal 50 mg/Nm3. Ketiga, untuk PLTU yang menyala setelah 1 Januari 2021, batas 502 sebesar 100 mg/Nm3, N02 sebesar 100 mg/Nm3, dan PM maksimal 30 mg/Nm3.
Surat yang ditandatangani M.R. Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK tersebut adalah balasan atas surat Walhi tertanggal 20 Desember 2017. Dalam surat tertulis, pada prinsipnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLN, dan perusahaan pembangkit mendukung rencana penurunan emisi pembangkit dengan cara merevisi Peraturan Menteri (Permen) LH Nomor 21/2008.
Dalam surat, ketiga pihak yang disebutkan dalam surat tadi mengusulkan agar upaya penurunan emisi dengan mempertimbangkan kondisi pembangkit yang ada serta dampaknya. Surat balasan dari Kementerian LHK sekaligus memuat draf revisi Permen 21/2008.
Namun, banyak pihak keberatan dengan langkah drastis Kementerian KLH. Bagaimana mungkin sebuah lembaga pemerintah dengan segala sumber daya yang dimiliki begitu reaktif terhadap usulan LSM? Di sisi lain, publik Indonesia juga mengetahui bahwa investor terkait sektor kelistrikan begitu kaget karena mereka mengaku tidak diajak bicara oleh pihak kementerian.
Ali Herman Ibrahim, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI), kepada media menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah diajak urun rembug oleh pemerintah mengenai rencana revisi Permen LH No.21/2008. Praktis, APLSI tak paham asal-muasal angka revisi yang sudah disampaikan Kementerian LHK dalam surat balasan kepada Walhi.
Berangkat dari surat tersebut, APLSI mengkhawatirkan batasan baku mutu emisi yang tertuang dalam draf. Menurut mereka, batasan tersebut bisa memberatkan independent power producer (IPP) atau perusahaan listrik swasta yang akan membangun proyek PLTU.
Terlepas dari pengakuan pihak Asosiasi kelistrikan, ada yang terlewat oleh LSM dan Kementerian KLH, yakni fakta bahwa PLTU di Indonesia, terutama yang beroperasi di Jawa-Bali grid telah terbukti menunjukkan level kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah. Apa buktinya? Tengok saja penghargaan yang diterima oleh anak perusahaan PLN yang bernama PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), yang berhasil meraih Proper Emas dalam ajang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) dari Kementerian LHK Tahun 2017. Proper Emas untuk PLN diraih PLTU Paiton yang dikelola oleh PJB.
Peringkat Emas adalah yang tertinggi, diikuti Hijau, Biru, Merah, dan yang terendah Hitam. Yang menarik, dalam ajang tersebut selain satu Proper Emas, terdapat 13 pembangkit lainnya yang dikelola oleh PLN, PT Indonesia Power atau IP, anak perusahaan PLN, dan PJB diganjar Proper Hijau dalam ajang penghargaan Proper kali ini.
Ke-13 pembangkit PLN yang mendapat Proper Hijau adalah PLTGU Priok IP, PLTGU Gresik PJB, PLTGU Muara Karang PJB, PLTU Labuan IP, PLN Tanjung jati B, PLTP Kamojang IP, PLTG Gilimanuk IP, PLTD Pesanggaran IP, PLTGU Cilegon IP, PLTGU Muaratawar PJB, PLTGU Tambaklorok IP, PLTU Asam-asam PLN, PLTU Indralaya PLN.
Proper Emas merupakan penghargaan tertinggi dan terbaik bagi perusahaan di Indonesia yang peduli lingkungan. Pada 2017, Kementerian LHK menetapkan 19 perusahaan sebagai penerima penghargaan Proper Emas dan 150 perusahaan sebagai penerima penghargaan Proper Hijau, sedangkan 1.486 perusahaan mendapat Proper Biru, 130 perusahaan Merah, dan satu perusahaan Hitam.
Kembali ke Proper Emas, PLTU Paiton unit 1 dan 2 berkapasitas 2×400 megawatt (MW) dikenal sebagai salah satu yang tertua di Indonesia. Pembangkit listrik tersebut beroperasi mulai 24 November 1993 untuk unit 1 dan unit 2 pada 17 April 1994 . Dengan umur operasi 24 tahun, PLTU ini sebenarnya tergolong pembangkit tua.
Direktur Operasional I PJB, Sugianto, menuturkan bahwa PLTU Paiton masih bisa beroperasi optimal. Kondisi itu tak lepas dari upaya PJB gencar melakukan pembenahan manajemen, modernisasi peralatan pembangkit, dan terus meningkatkan dari sisi teknologi. Abu hasil pembakaran batu bara PLTU Paiton bahkan sudah dinyatakan tidak berbahaya bagi lingkungan dan bisa digunakan untuk bahan baku semen dan beton.
“Tahun depan, abu hasil pembakaran dari PLTU Paiton akan digunakan sebagai bahan campuran beton untuk jalan di Bitung,” ujar Sugianto.
Jika pembangkit tua macam PLTU Paiton unit 1 dan 2 saja masih begitu terjaga operasionalnya, bagaimana mungkin PLTU-PLTU lain yang berusia lebih muda bisa menyemburkan polutan dalam volume yang lebih berbahaya? Sebagai penegasan, selain pada 2017, sebanyak 17 unit pembangkit listrik yang dikelola PT PLN (Persero) bersama anak perusahaannya, yakni PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), juga berhasil meraih penghargaan Proper peringkat hijau pada periode 2016.
Adapun 17 unit pembangkit PLN yang berhasil meraih Proper Hijau 2016 adalah PLTU Paiton (Probolinggo), PLTU Suralaya (Banten), PLTU Labuan (Banten), PLTU Tanjung Jati B (Jepara), PLTGU Priok (Jakarta), PLTGU Tambak Lorok (Semarang), PLTGU Gresik (Gresik), PLTP Kamojang (Garut), PLTGU Cilegon (Banten), PLTGU Grati (Pasuruan), PLTGU Muara Karang (Jakarta), PLTGU Muara Tawar (Bekasi), PLTG Gilimanuk (Bali), PLTDG Pesanggaran (Bali), PLTP Gunung Salak (Bogor), PLTGU Pemaron (Bali), dan Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan Sektor Kramasan.
Proper adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan yang dikembangkan oleh Kementerian KLH sejak 1995, untuk mendorong perusahaan meningkatkan pengelolaan lingkungan. Proper telah dipuji berbagai pihak, termasuk Bank Dunia, dan menjadi salah satu bahan studi kasus di Harvard Institute for International Development.
Proper menjadi contoh di berbagai negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika sebagai instrumen penataan alternatif lingkungan. Pada 1996, Proper mendapatkan penghargaan Zero Emission Award dari United Nations University di Tokyo.
Berikut rincian level peringkat dalam Proper.
Proper Emas: perusahaan telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dan melakukan upaya pengembangan masyarakat secara berkesinambungan.
Proper Hijau: perusahaan telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan, mempunyai keanekaragaman hayati, sistem manajemen lingkungan, 3R limbah padat, 3R limbah B3, konservasi penurunan beban pencemaran air, penurunan emisi, serta efisiensi energi.
Proper Biru: perusahaan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai ketentuan atau peraturan yang berlaku (telah memenuhi semua aspek yang dipersyaratkan oleh Kementerian LHK), adalah nilai minimal yang harus dicapai oleh semua perusahaan dalam bidang penilaian tata kelola air, penilaian kerusakan lahan, pengendalian pencemaran laut, pengelolaan limbah B3, pengendalian pencemaran udara, pengendalian pencemaran air, serta implementasi Amdal.
Sebagaimana diketahui, pembangkit PLN menguasai pangsa pasar lebih dari 65% di sistem kelistrikan Jawa-Bali.