Thursday, November 21, 2024
HomeBisnisMembangun Desa Lebih Menjamin Pemerataan Ekonomi

Membangun Desa Lebih Menjamin Pemerataan Ekonomi


Pemerintah perlu mencontoh semangat Tiongkok dalam membangun perekonomian dengan mengejar pertumbuhan yang berkualitas, karena akan dapat membantu menekan angka kemiskinan. Dibarengi dengan pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu, Tiongkok menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia.

“Problem utama Indonesia selama ini adalah ketimpangan ekonomi yang demikian tinggi. Karena itu pertumbuhan yang berkualitas lebih penting daripada hanya mencatat angka pertumbuhan tinggi tapi kenyataannya disparitas masih lebar, sehingga kemiskinan belum banyak berubah,” kata pakar sosiologi ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bagong Suyanto.

Menurutnya, pertumbuhan berkualitas bisa dicapai dengan kebijakan yang lebih mendasar, yang benar-benar harus mendahulukan serta berdimensi kerakyatan, seperti membangun pereknomian desa.

“Dengan membangun desa, ini akan lebih menjamin pemerataan pertumbuhan ekonomi karena mayoritas penduduk Indonesia ada di perdesaan. Dengan memperkuat ekonomi lewat pertanian yang berpusat di rakyat (desa), ini memandang rakyat sebagai sumber daya pembangunan utama. Akan lebih efektif memerangi kemiskinan, karena mereka diberdayakan melalui potensi asli berupa pertanian desa atau keunggulan lainnya,” pungkas Bagong yang juga Dekan FISIP Unair ini.

Pernyataan Bagong di atas menanggapi pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok sekarang ini.

Ekonom terkemuka Tiongkok yang juga mantan pejabat IMF, Zhu Min memperkirakan Tiongkok akan menyalip Amerika Serikat (AS) pada 2035 menjadi ekonomi terbesar dunia. Perkiraan ini disampaikan Zhu Min berdasarkan pada lintasan pertumbuhan ekonom kedua negara.

Meski demikian menurutnya, Tiongkok tidak boleh terpaku pada angka atau target waktu. Yang lebih penting adalah kualitas pertumbuhan ekonomi Tiongkok di masa depan harus menguntungkan lebih banyak warga biasa, bukan pejabat atau kelompok tertentu.

Dan cara untuk melakukan itu, katanya, adalah Beijing terus maju dengan model pertumbuhan barunya. Ini didorong oleh pengeluaran domestik daripada ekspor, manufaktur bernilai tambah melalui adopsi teknologi digital, dan menjadi hijau sehingga dapat mencapai netralitas karbon.

Itu disampaikan Zhu pada pertemuan puncak, Future Of Asia, yang diselenggarakan oleh raksasa media Jepang, Nikkei di Tokyo, Kamis (25/5).

Dilansir oleh The Straits Times, Zhu Min melakukan beberapa kalkulasi: berdasarkan asumsi bahwa ekonomi AS tumbuh 2 hingga 2,5 persen per tahun dan Tiongkok tumbuh 4 hingga 4,5 persen, tonggak sejarah itu dapat terjadi dalam 12 tahun.

Prediksinya sedikit tertinggal dari perkiraan lainnya, yang berkisar dari 2030 hingga 2033. Tetapi beberapa dari proyeksi ini juga telah didorong mundur sebagian besar sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dan lockdown di Tiongkok.

“Jangan terlalu memperhatikan agregat PDB,” Kata Zhu, yang sekarang menjadi wakil ketua China Center for International Economic Exchanges, lembaga think tank yang berbasis di Beijing.

Berdasar data IMF, per November 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) AS sebesar 25,04 triliun dollar AS, masih yang terbesar di dunia. Sedangkan Tiongkok berada di urutan kedua dengan PDB 18,32 triliun dollar AS.

Dia mencatat bahwa PDB per kapita Tiongkok masih jauh di bawah AS, dengan ruang yang sangat besar untuk meningkatkan kehidupan individu. “Di Tiongkok, kami tidak menjadikan melampaui AS sebagai target. Kami ingin memastikan kualitas pertumbuhan itu ada, tidak harus jumlah atau seberapa cepat kami bisa melewatinya,” ujar Zhu.

Apa yang lebih dia tangkap adalah bagaimana model Tiongkok saat ini, dengan fokus signifikan pada investasi dan ekspor, “tidak bekerja dengan baik”.

Dia menguraikan beberapa masalah: Tiongkok tidak lagi memiliki pasokan tenaga kerja murah yang tidak terbatas karena tingkat kelahirannya menurun, dan ada perlambatan global dalam permintaan barang-barangnya.

Sejak membongkar pembatasan era pandemi, pemerintah Tiongkok bergerak untuk memacu permintaan domestik untuk mengambil peran yang lebih besar dalam perekonomian. Tapi ini terbukti menjadi tugas berat, sebagian besar rumah tangga Tiongkok masih lebih suka menabung daripada membelanjakan, karena masalah pekerjaan dan pendapatan.

Untuk mengatasi hal ini, kata Zhu, Tiongkok harus meningkatkan jaminan kesehatan dan jaminan sosial “agar orang merasa aman untuk mengonsumsi hari ini”.

Upaya lain, seperti mencapai netralitas karbon, sedang dilakukan. Misalnya, tenaga surya yang dihasilkan di Sichuan sekarang disalurkan ke Henan, di mana biayanya lebih rendah daripada tenaga batu bara. Henan adalah provinsi penghasil batu bara.

“Itu memberi tahu kita bahwa mungkin ada cara maju yang hemat biaya adalah batu bara dapat diganti, akan diganti,” kata Zhu.

Pertumbuhan Berkualitas

Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko mengatakan Indonesia bisa seperti Tiongkok yang bisa bersaing dengan Amerika Serikat. Sebab, potensinya sangat besar, namun belum tergarap maksimal.

Jika RI ingin menjadi kekuatan ekonomi dunia, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi salah satunya pertumbuhan ekonomi harus di atas 8 persen.

Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, Indonesia harus memperkuat industri manufaktur untuk meningkatkan nilai tambah komoditi primer yang tersedia. “Ini penting, hilirisasi juga harus serius dilakukan. Jangan ekspor lagi bahan mentah agar kualitas ekspor meningkat dan adanya value added yang besar untuk ekonomi dalam negeri,”tegas Suhartoko

Syarat lainnya kata dia dengan meningkatkan kualitas, kuantitas produksi primer untuk memenuhi bahan baku industri manufaktur.

Selanjutnya, mampu menekan ongkos transportasi dan logistik antar pulau. “Selama ini daya saing logistik inilah yang menghambat daya pacu ekonomi kita,”ujarnya. Syarat lainnya dengan melakukan industrialisasi yang mempunyai forward dan backward linkage yang kuat.

Kemudian, memanfaatkan potensi konsumsi domestik yang besar agar industri manufaktur mampu mencapai skala ekonomi yang efisien.

Sedangkan Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan, setiap perkiraan ekonomi jangka panjang selalu mengandung ketidakpastian karena dunia hari ini kelewat sulit diprediksi seperti adanya perkembangan teknologi, perubahan iklim yang mempengaruhi rencana-rencana investasi dan perdagangan, dan juga perubahan sosiol-politik.

Memang, melihat kebangkitan Tiongkok dan di saat yang sama Amerika Serikat mengalami banyak kesulitan seperti tenggat pembayaran utang dan krisis perbankan, sulit untuk tidak melihat kekuatan nyata bahwa dalam beberapa waktu Tiongkok bisa menyalip AS.

“Tapi ingat juga Tiongkok tumbuh oleh upah buruh murah dan komoditas murah, meski brand mereka saat ini juga mulai mendunia,” papar Aditya.

Indonesia menurut Aditya musti lebih fokus pada kekuatan di dalam dan mengembangkannya sebagai produk yang tidak terkalahkan di pasar dunia. Misalnya, hilirisasi tambang, semestinya pemerintah tanpa ragu, at any cost, bisa terus melanjutkan hingga menghasilkan sebuah produk turunan yang siap diekspor ke seluruh dunia.

“Kuncinya kan pertumbuhan berkualitas,” papar Aditya.

Source: koran-jakarta

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

Most Popular