Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat ada peningkatan tren titik panas di berbagai wiilayah Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), termasuk Indonesia. Tercatat jumlah titik panas di kawasan tersebut menembus angka 3.191 titik pada tanggal 4 Agustus 2019.
Baca Juga: Pantai-pantai di Kalimantan Timur Jadi Magnet Libur Lebaran
BMKG meminta masyarakat untuk tetap terus mewaspadai sebaran titik panas guna menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Titik panas tersebut terkonsentrasi di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, bahkan juga terdeteksi di Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Filipina,” kata Deputi Meteorologi BMKG, Prabowo dalam rilis resmi BMKG yang diterima Rabu (7/8) pagi.
Padahal, sebelumnya jumlah titik panas pada tanggal 29 Juli 2019 hanya sebanyak 1782 titik, jumlah itu pun turun hingga pada tanggal 1 Agustus 2019 dengan total 703 titik.
Baca Juga: Kalimantan Itu Indah, Danau Labuan Cermin Buktinya
Jika dikalkulasi, dari hasil pemantauan selama dua minggu terakhir (25 Juli – 5 Agustus 2019) sedikitnya BMKG mengidentifikasi terdapat 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini.
Prabowo menjelaskan, informasi titik panas tersebut dianalisis oleh BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN) dan Satelit Himawari (JMA Jepang). Peningkatan jumlah titik panas ini, menurutnya diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.
Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang dapat berkembang menjadi karhutla. “Saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia) di mana pola angin secara umum berasal dari arah Tenggara yang bersifat kering,” tuturnya.
Pada musim kemarau, lanjut Prabowo, pola angin dominan berasal dari arah Tenggara. Hal ini mendorong arah penyebaran (trayektori) asap melintasi perbatasan wilayah Indonesia (transboundary haze).
Kondisi musim saat ini, kata Prabowo, juga dipengaruhi oleh kondisi anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang negatif khususnya di selatan ekuator, El Nino dengan intensitas lemah yang berlangsung dari akhir 2018, serta Indian Ocean Dipole Mode yang saat ini bernilai positif.
“Hal ini mengakibatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dari tahun 2018, dan kondisi lahan khususnya gambut secara potensi menjadi mudah terbakar” papar Prabowo.
Ia menambahkan, kondisi tersebut telah diantisipasi dalam bentuk informasi peringatan dini berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar, dengan menggunakan free danger rating System (FDRS) sampai 7 hari ke depan untuk wilayah ASEAN.
Dalam sistem tersebut, terdapat peta prakiraan tingkat kemudahan terjadinya kebakaran berdasarkan unsur cuaca untuk wilayah Asia Tenggara. Hingga 12 Agustus mendatang, diprediksi wilayah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, dan sebagian kecil Myanmar, Vietnam, Laos masuk kategori “Sangat Mudah” terjadi kebakaran.
“Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar,” pungkas Prabowo.
BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), BNPB, Pemerintah Daerah (BPBD), instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi karhutla.
Tidak hanya itu, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan, serta kekurangan air bersih juga menjadi fokus perhatian.