Toko buku Gunung Agung, salah satu toko buku legendaris dan bersejarah di Indonesia, mengumumkan akan menutup seluruh gerainya pada akhir tahun ini, setelah beroperasi selama hampir 70 tahun.
Penutupan gerai ini disayangkan oleh pegiat literasi Wien Muldian, yang menyebut toko buku Gunung Agung telah “berkontribusi besar bagi dunia literatur Indonesia” sejak era pasca kemerdekaan.
Sebagai penerbit buku-buku penting dalam sejarah literatur Indonesia, toko buku Gunung Agung sempat begitu berjaya. Namun era kejayaan itu kini tenggelam begitu para pelanggannya tidak lagi menginjakkan kaki di gerai mereka.
Wien menilai itu terjadi karena toko buku Gunung Agung “gagal menyesuaikan” strategi bisnis mereka dengan perilaku konsumen yang berubah di era digital, di mana akses terhadap buku menjadi lebih luas dan mudah secara daring.
Sementara, biaya operasional untuk menjalankan gerai-gerai toko buku besar tentu tidak kecil pula.
Penggagas gerakan literasi dan toko buku indie, patjarmerah, Windy Ariestanty juga menilai tutupnya toko-toko buku besar dipicu oleh perubahan prilaku konsumen, bukan karena “tuduhan usang” seperti minat baca rendah.
“Faktanya zaman berubah, pengelola toko buku juga harus mengubah cara dia mengelola dan juga pola pikirnya,” kata Windy.
“Kalau kita hanya punya bangunan dan berpikir dengan memajang buku orang-orang lantas akan datang, ya tentu ini tidak akan terjadi,” sambungnya.
Direksi Toko Buku Gunung Agung mengatakan bahwa penutupan semua outlet yang tersisa dilakukan karena mereka “tidak dapat bertahan”.
Mereka mengklaim penjualan mereka “menurun seiring terus berkurangnya jumlah pembaca buku fisik”.
“Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar,” kata Direksi PT Gunung Agung Tiga Belas melalui keterangan tertulis pada Minggu (21/05).
Selama pandemi Covid-19, toko buku Gunung Agung juga telah menutup sejumlah gerai mereka di Bekasi, Bogor, Gresik, Jakarta, Magelang, Semarang, dan Surabaya demi mengatasi kerugian akibat biaya operasional yang “semakin membesar”.
“Dan tidak sebanding dengan pencapaian penjualan usaha setiap tahunnya, yang mana semakin berat dengan terjadinya wabah pandemi Covid-19 di awal tahun 2020,” jelas mereka.
Sebagai imbasnya dari rencana penutupan permanen ini, ratusan karyawan toko buku Gunung Agung akan di-PHK.
Kabar ini pun memicu reaksi dari warganet di media sosial.
Sebagian mengenang pengalaman mereka berbelanja di toko buku Gunung Agung yang sempat begitu berjaya ini.
Toko buku bersejarah
Merujuk pada Sejarah Perbukuan, Kronik Perbukuan Indonesia Melewati Tiga Zaman (2022), toko buku Gunung Agung didirkan oleh Tjio Wie Tay –yang kemudian dikenal sebagai Haji Masagung—pada 1953.
Tjio Wie Tay adalah seorang pengusaha yang memiliki kongsi dagang bernama Tay San Kongsie yang menjual rokok sejak tahun 1945.
Selepas kemerdekaan Indonesia, permintaan terhadap buku sangat tinggi, setelah hengkangnya penerbit-penerbit Belanda.
Tan San Kongsie melihat peluang itu. Mereka lalu mendirikan kios sederhana di Jakarta Pusat yang menjual buku, koran, dan majalah.
Keuntungan menjual buku ternyata lebih besar dibandingkan hasil penjualan rokok dan bir. Kongsi ini pun menutup usaha rokok dan bir mereka, lalu fokus pada toko buku.
Percetakan pertama mereka berada di bagian belakang sebuah rumah yang dibeli Tjio Wie Tay di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat.
Tjio Wie Tay kemudian membangun Firma Gunung Agung, yang ditandai oleh pameran buku 10.000 buku pada 8 September 1953.
Setahun kemudian, Tjio Wie Tay kembali memprakarsasi pameran buku lebih megah bernama Pekan Buku Indonesia 1954.
Melalui pekan buku itu, Tjio Wie Tay berkenalan dengan Soekarno dan Hatta. Dia dipercaya menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa pada 1954.
Sejak saat itu, bisnis Firma Gunung Agung terus membesar. Gunung Agung menerbitkan buku-buku bersejarah seperti autobiografi Soekarno yang ditulis oleh jurnalis AS, Cindi Adams berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.
Gunung Agung juga menerbitkan buku-buku karya Soekarno, seperti Dibawah Bendera Revolusi, serta autobiografi tokoh-tokoh Indonesia lainnya.
Pegiat literasi sekaligus CEO Indonesian Writers Inc, Wien Muldian mengatakan dengan sejarah panjang dan kontribusinya pada dunia literatur di Indonesia, “sangat disayangkan” toko buku Gunung Agung akhirnya tutup usia.
“Gunung Agung punya sejarah panjang dalam dunia intelektual Indonesia, menerbitkan banyak buku-buku penting, buku-buku intelektual, bahkan Haji Masagung membuat Perpustakaan Idayu yang sangat bagus, tapi akhirnya tutup ketika Masagung meninggal,” jelas Wien.
“Kita kehilangan sebenarnya, tapi ini kan usaha keluarga, bukan BUMN yang bisa diintervensi oleh negara,” kata dia.
Gagal berinovasi
Menurut Wien, apa yang terjadi pada Gunung Agung saat ini sebetulnya “sudah bisa diprediksi”.
Selama beberapa tahun terakhir, toko buku ini “tidak jor-joran” melakukan inovasi, yang dapat mempertahankan para pelanggannya untuk tetap datang.
Pada era digital, para penikmat buku tidak melulu bergantung pada toko fisik untuk mengakses buku. Banyak buku tersedia di lokapasar dan bisa dipesan secara daring.
Oleh sebab itu, kemampuan bertahan sebuah toko buku sering kali bergantung pada bagaimana mereka mengemas atau menawarkan pengalaman tambahan bagi para pelanggannya.
“Mungkin toko buku bisa bertahan kalau dia juga menyediakan kafe atau menyediakan aktivitas seperti membaca bersama-sama, ada klub membaca, mungkin bisa bertahan. Kalau dia hanya menjual buku, tidak ada aktivitas yang mengikat pembeli, enggak bisa hidup secara umum,” kata Wien.
Wien mengatakan akan selalu ada “pasar” dari orang-orang yang tetap membaca buku fisik di tengah gempuran digital.
Namun, lagi-lagi keberhasilannya bergantung pada strategi bisnis dari toko buku itu sendiri.
“Di dunia justru banyak toko buku baru buka, karena trennya orang kembali ke buku cetak. Kalau tidak ada tempat yang nyaman, mereka tetap membeli buku cetak tapi secara online. Itu fenomena umum yang terjadi di mana-mana,” jelas dia.
“Itu yang tidak dilakukan oleh Gunung Agung,” kata Wien.
Laporan The New York Times pada 2022 lalu misalnya, menyebut ada lebih dari 300 toko buku baru yang dibuka di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir.
Toko-toko itu merupakan toko buku independen yang menyediakan opsi dan ruang bagi komunitas minoritas, seperti Asia-Amerika, di tengah bisnis buku yang selama ini “didominasi oleh orang-orang kulit putih”.
Buku ‘hidup’ dan dicari karena dibicarakan
Di Indonesia sendiri, gerakan literasi bernama patjarmerah, justru baru membuka toko fisik pertamanya pada awal Mei lalu di Jakarta.
Setelah bertahun-tahun sebelumnya mereka membuat festival buku keliling demi menciptakan akses yang lebih luas bagi buku dengan harga yang murah.
Mereka menyebut diri mereka sebagai “anak kemarin sore”.
Ruang dan dana yang terbatas membuat mereka harus menyeleksi ketat buku-buku yang ditampilkan di kedai.
Mereka mencoba memadukan komposisi buku-buku karya penerbit alternatif dengan penerbit mayor pada koleksinya.
“Keterbatasan justru bikin kami jadi melakukan pilihan-pilihan dengan cermat. Buku-buku alternatif yang tidak ada di toko buku jadi prioritas, tetapi buku-buku arus utama yang diminati oleh patjarboekoe juga kami seleksi,” kata Windy.
Mereka juga berupaya menciptakan ruang bagi para pembaca, penulis, penerbit, hingga distributor untuk bertemu dan saling ngobrol.
“Buku ‘hidup’ dan dicari karena dibicarakan. jadi, cari cara-cara kreatif untuk membicarakan buku menjadi salah satu tantangan yang menarik buat kami, juga menciptakan ruang temu,” kata dia.
Dari pengalaman mereka berkeliling menggelar festival buku hingga kini memiliki toko buku, Windy mengatakan yang paling utama adalah bagaimana membangun gerakan membaca dan membuat orang menyukai membaca.
Hal itu bisa diraih dengan akses terhadap buku mudah; harga terjangkau, sebaran setara dan merata, serta sistem yang berpihak kepada buku.
“Cara orang membeli ataupun membaca buku pada akhirnya tidak lebih penting daripada kecintaan dan kebutuhannya kepada membaca. Dalam bentuk apa pun dan lewat apa pun buku didapatkan itu karena orang-orang merasa butuh dan cinta kepada membaca,” kata Windy.
Bukan minat baca rendah, tapi akses yang terbatas
Wien meyakini bahwa tutupnya sejumlah gerai toko buku di Indonesia lebih disebabkan oleh tata kelola yang tidak tepat, bukan karena minat baca yang rendah.
“Secara umum, minat baca kita itu tidak rendah. Akses terhadap bacaannya yang tidak mudah, kemampuan daya beli karena harga buku yang belum cocok karena rantai distribusi yang bermasalah, diskon ke toko buku kan rendah jadi kalau harganya ditinggikan, yang dikorbankan kan pembeli, pembaca,” kata Wien.
Akses buku yang sulit itu pula yang membuat sebagian beralih mencari buku bajakan.
“Untuk menyelamatkan toko-toko buku, sekaligus menyelamatkan penulis itu salah satunya dengan membuat bagaimana pembaca bisa memiliki kesungguhan untuk membeli buku yang asli, dan itu tidak mudah. Buku bajakan saja bisa seperlima harga asli.”
“Ini urusan yang ruwet dan Undang-Undang Perbukuan tidak cukup membantu untuk membangun ekosistemnya dan perlu intervensi pemerintah,” sambungnya.
Dia juga tidak sepakat apabila buku digital dianggap berpengaruh terhadap minat pembaca terhadap buku fisik.
Fenomena yang muncul belakangan, kata Wien, justru banyak orang mulai jenuh dengan digital dan lebih menyukai buku fisik.
Senada, Windy juga mengatakan bahwa buku fisik dan buku digital “tidak saling mematikan”. Apa yang terjadi pada Gunung Agung semata karena pengelolaannya yang tidak berubah mengikuti perubahan prilaku pelanggan.
Sementara itu, Wien berpendapat kondisi ini tidak serta merta mengurangi akses masyarakat terhadap buku. Meski, penutupannya tentu disayangkan.
“Apa yang terjadi pada toko buku Gunung Agung akhirnya yang terjadi cuma romantisme. Tidak semua orang tahu Gunung Agung karena pada dasarnya akses pada bacaan tidak bermasalah, masih bisa diakses dengan membeli online. Jadi anak-anak sekarang tidak terpengaruh oleh penutupan itu,” kata dia.
Rentetan toko buku yang tutup
Toko buku Gunung Agung bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang mengumumkan penutupan gerainya secara permanen dalam beberapa waktu terakhir.
Pada April lalu, Books & Beyond mengonfirmasi akan menutup permanen seluruh cabangnya di Indonesia pada Mei 2023. Namun, mereka akan tetap berjualan secara daring.
Toko buku lokal di Solo, Togamas telah berhenti beroperasi pada Juli 2022. Salah satu alasannya karena pandemi yang menyebabkan penjualan mereka menurun.
Jaringan toko buku asal Jepang, Kinokuniya hanya menyisakan satu cabangnya di Grand Indonesia, setelah menutup permanen tokonya di Plaza Senayan pada April 2021.
Source:bbc