Saturday, July 20, 2024
HomeBeritaAgar Indonesia Tak Melulu Hanya Jawa

Agar Indonesia Tak Melulu Hanya Jawa


Sudah 27 bulan  M Miftah (24) tinggal dan bekerja di Pulau Sumatra, tepatnya di Sumatra Selatan. Di sana, dia bekerja sebagai periset di perusahaan kehutanan. Ya, pekerjaan yang digeluti memang selaras dengan ilmu yang dipelajari.  

Pekerjaan tersebut didapat sebagai syarat untuk mendapat beasiswa yang disediakan perusahaan. Sepintas, Miftah bisa dibilang cukup beruntung. Dia peroleh pekerjaan sekaligus beasiswa, tetapi ini tetap kurang pas dirasakannya. 

Dia bertekad tak ingin terus bekerja di perusahaan itu. Miftah malah berkeinginan kembali ke daerah tempat dia dibesarkan, di daerah penyangga Jakarta. Ada banyak pertimbangan membuat Miftah tak kerasan merantau. 

Meski dia sadari di Jawa itu sudah padat dan persaingan mencari kerja begitu tinggi, keinginannya tetap bulat, kembali ke Jakarta.

“Gaji di perusahaan ini sama dengan upah pekerja di Kabupaten Bekasi. Lalu, buat apa saya merantau kalau yang didapat sama di Bekasi,” urainya dalam perbincangan via telepon pada Rabu (21/6).

Alasan lain dia tak betah merantau, salah satunya, infrastruktur jalanan. Butuh tiga jam perjalanan dari tempat dia tinggal ke Palembang, Ibu Kota Provinsi Sumsel.

Dia menyebutkan, sinyal internet yang tak stabil juga menjadi penyebab. Bila hujan turun, sinyal mati bisa hitungan 12 jam.  

Ya, kondisi ini memang lumrah di daerah jika dibandingkan dengan apa yang tersedia di Jawa. Alasan yang diungkapkan Miftah juga bukan mengada-ada. Banyak perantau merasakan serupa.   

Tak Merata
Tidak samanya infrastruktur dan fasilitas umum di Jawa dan di daerah lainnya di Nusantara juga terkait dengan jumlah penduduk di masing-masing wilayah.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, Indonesia memiliki populasi sebesar 275,77 juta jiwa. Separuh lebih, atau 56,05% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, setara 154,34 juta jiwa. Bahkan, 56% perputaran ekonomi nasional ada di Pulau Jawa.

Ketidakmerataan ini jadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada Maret 2023, dia menguraikan, “Perlu ada pemerataan, bukan Jawa-sentris tapi Indonesia-sentris”.

Padahal, ketidakmerataan penduduk mengakibatkan berbagai masalah. “Mulai dari kriminal, polusi, hingga menurunnya daya dukung lingkungan,” urai Direktur Kependudukan Jaminan Sosial, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Muhammad Cholifihani pada Kamis (22/6).

Upaya Pemerataan
Bappenas turut mengupayakan pemerataan penduduk ini, yakni membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di luar Jawa. Tercatat sampai 2023 sudah terbangun sekitar 20 KEK.

Salah satu tujuan KEK adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. Oleh karena itu, dapat menarik penduduk agar mau pindah ke luar Jawa guna mendukung pertumbuhan ekonomi. 

KEK yang sudah dibangun seperti di Sei Mangkei, Sumatra Utara, didorong bisnis-bisnis kelapa sawit, pariwisata, dan logistik. Lalu, ada lagi KEK di Sorong, Papua Barat dan Bitung, Sulawesi Utara.

“Ada fasilitas, ada prioritas tertentu di sana, harapannya penduduk di Jawa tertarik ke sana,” lanjut Cholifihani.

Selain KEK, kawasan industri (KI) juga didorong. Bedanya jika di KEK yang didorong tidak hanya industri, KI hanya mendorong industri. Upaya pemerintah selanjutnya menarik penduduk di Jawa keluar yakni dengan transmigrasi. 

Direktur Fasilitasi Penataan Persebaran Penduduk di Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes) Wibowo Puji Raharjo menguraikan, transmigrasi sebagai upaya memfasilitasi kesenjangan kepadatan antara Jawa dan luar Jawa. Cara ini, imbuh dia, sudah dilakukan sejak era kolonial.

“Melalui transmigrasi, masyarakat yang ada di Jawa akan pemerintah tempatkan ke 152 wilayah transmigrasi yang ada di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan daerah-daerah lain di Indonesia bagian timur,” jelasnya, Senin (26/6).

Dari 152 wilayah transmigrasi, 52 di antaranya merupakan prioritas nasional. Seratus lainnya adalah prioritas kementerian.

Ada fasilitas bagi transmigran untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Berupa lahan, rumah, modal usaha. Tujuannya, agar mereka bisa mandiri.

Namun, masih ada beberapa masalah, seperti soal sumber daya manusia transmigran. Ada juga masalah ketersediaan lahan untuk okupasi. Karena bersinggungan dengan lahan penduduk atau lahan perusahaan sehingga banyak lahan yang dipilih tak bisa digunakan.

Mulai tahun 2022, lanjut dia, Kemendes menerapkan transmigrasi transpolitan. Yakni, mengembangkan transmigrasi berbasis ekonomi digital dan bertumpu pada peningkatan SDM. 

Warga transmigran dibekali dengan berbagai teknologi terkini agar bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Selain itu, pemerintah membuat program transmigrasi produktif. Tujuannya membuka pusat pereknomian baru.

“Transmigran langsung mendapatkan pekerjaan. Tak lagi fokus garap lahan seperti sebelumnya. Mereka miliki pekerjaan seperti perkebunan di Sumatra atau pertambangan di Sulawesi,” terang Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bonivasius Prasetya, Kamis (22/6).

Para transmigran datang lengkap bersama keluarganya. Melalui skema ini, lanjut dia, tak melulu anggaran dari pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah (pemda). 

Di antaranya adalah anggaran untuk memberdayakan warga asli agar tak terjadi kecemburuan sosial. Sebagaimana diketahui, kecemburuan sosial yang berujung konflik, menjadi penyebab transmigran kembali lagi ke Jawa. 

Kemendes menyadari, program transmigrasi bukan program instan. Dibutuhkan waktu panjang untuk proses meyakinkan calon transmigran, pemberangkatan, hingga perkembangan mereka di wilayah baru. 

Meski jalan berkelok, Kemendes yakin, program transmigrasi ke depan akan mengatasi darurat kependudukan dan darurat pangan.

Revitalisasi Kawasan
Selain itu, pemerintah juga mengupayakan revitalisasi 52 dari 152 kawasan transmigrasi. Rencana itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Hasilnya, urai Cholifihani, pada 2021 revitalisasi kawasan transmigrasi berupa tercapainya rata-rata nilai indeks perkembangan kawasan transmigrasi (IPKT) sebesar 51,85.

Capaian nilai IPKT itu didukung oleh capaian pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi. Yakni, membangun 572 unit rumah transmigran dan jamban keluarga. Membangun 13 unit fasilitas umum, menyediakan jembatan dengan panjang total 185,74 meter dan jalan sepanjang 58,55 kilometer (km). terbangunnya jaringan drainase/irigasi sepanjang 20,48 km.

Ada pula pembangunan 41 unit sarana air bersih standar. Kemudian dua unit bangunan air/embung di satuan pemukiman pada kawasan transmigrasi prioritas nasional. 

Tersedianya bantuan sarana produksi pertanian untuk 14.231 keluarga transmigran. Fasilitasi, penerbitan sertifikat hak milik untuk 17.458 bidang tanah transmigran.

Pembangunan itu berlanjut pada 2022. Agar, bisa mencapai target rata-rata nilai IPKT di 52 kawasan transmigrasi sebesar 53,12. 

Cholifihani menambahkan, perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur juga merupakan upaya menciptakan pemerataan penduduk. Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan menjadi magnet bagi masyarakat.

Pemerintah, berharap, saat Indonesia Emas 2045, penduduk yang tinggal di Jawa menjadi 45%. Proyeksinya penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 324 juta jiwa, dan 145 juta orang tinggal di Jawa.

Konektivitas
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi juga menganalisis ini. Dia mengatakan, kondisi tidak meratanya penduduk disebabkan pembangunan yang Jawasentris.

Populasi di Jawa, dia tegaskan, memang sudah berlebih. Efek kepadatan itu di antaranya bisa berimbas ke kesehatan, kriminalitas, dan persaingan lapangan pekerjaan sangat ketat. 

“Sekarang kalau bicara penduduk Jakarta 12 juta, akses transportasi jadi masalah,” ujarnya, Rabu (21/6).

Oleh sebab itu, lanjut dia, konektivitas itu menjadi penting. Bagaimana kemudian Indonesia Timur dimajukan, yang otomatis bakal menarik orang menyebar ke berbagai wilayah lain selain Jawa.

Konektivitas akan membuat ekonomi bergerak sehingga tumbuh pusat ekonomi baru yang membuka banyak lapangan pekerja. Contohnya yang paling terlihat adalah IKN.

Seperti Cholifihani, Nawawi juga sependapat bahwa pembangunan IKN akan memberikan efek multiplier ke provinsi sekitarnya. Suplai bahan baku IKN, misalnya, akan diambil dari Sulawesi, bukan dari Jawa. Dengan begitu turut tercipta magnet ekonomi baru di Sulawesi.

Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti tol laut di Indonesia Timur juga sangat diperlukan untuk mengkoneksikan antara Jawa dan Indonesia Timur. Dari yang sudah berjalan, tol laut sukses menumbuhkan kota-kota baru.

Dia mengingatkan daerah terluar juga tidak boleh ditinggalkan pembangunannya agar tak ketinggalan dibanding daerah lainnya. Oleh karena itu, bila daerah terluar punya kondisi yang sama dengan daerah lainnya otomatis penduduk juga akan mengalir ke sana.

“Sekarang ini kan kesulitan berbagai macam akses di daerah terluar itu kan. Saya kemarin dengar ada berita di daerah yang masih belum ada akses listrik segala macam. Ini kan perlu perhatian pemerintah yang sangat kuat untuk ini,” tambah Nawawi.

Upaya pemerataan lewat transmigrasi ke luar Jawa yang masih terjadi juga harus diacungi jempol. Berbeda dengan Orde Baru yang bisa memaksa penduduk bertransmigrasi, di era ini penduduk tidak bisa dipaksa. 

Transmigrasi yang tadinya bergantung dari pemerintah pusat pun sudah tak lagi. Antarpemda kini saling bekerja sama. Daerah yang kekurangan penduduk, bisa meminta penduduk dari Jawa datang.

Misalnya, Pemda Sumatra Utara (Sumut) bekerja sama dengan Pemda Kabupaten Temanggung, untuk meminta warganya pindah ke Sumut. Berbagai fasilitas pun ditawarkan kepada para transmigran agar tertarik ke Sumut.

Warga Temanggung yang penghasilan dari tembakau sudah berkurang, kata Nawawi, akhirnya memutuskan bertransmigrasi ke Sumut. Di sana mereka sudah disiapkan pekerjaan di perkebunan sawit yang memang kekurangan tenaga kerja.

Transmigrasi memang masih dibutuhkan untuk transfer ilmu antara transmigran dengan penduduk asli kawasan transmigrasi, seperti di Palu. Sebelumnya, warga asli Palu tidak mengerti cara bertani, namun begitu penduduk dari Jawa datang, warga Palu jadi memahami cara bertani.

Adanya dampak baik transmigrasi, diulas Wakil Kepada Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Paksi Walandouw. Dia mengatakan, membuat penduduk di Jawa berpindah ke daerah lainnya merupakan hal yang positif bagi daerah tersebut. Sebab, SDM akan terbagi sehingga probabilitas terjadinya pembangunan tinggi.

Meski begitu, masyarakat tak akan pindah jika tempat yang ditujunya minim fasilitas. Misalnya, fasilitas sekolah. 

Karena itu, fasilitas dasar seperti sekolah perlu disediakan di luar Jawa sehingga orang rela bertransmigrasi dengan keluarganya meninggalkan kampung halaman.

Hal lain yang mesti dicermati adalah pembangunan perkotaan di luar Jawa. Berdasarkan sensus penduduk, diperkirakan sekitar 68-70% masyarakat akan tinggal di kota pada 2045 dibanding di desa. 

“Baik di dunia atau di Indonesia, tren urbanisasi ini terus terjadi. Jadi, 10-30 tahun lalu banyak di desa, sekarang makin banyak di kota,” jelasnya, Rabu (21/6).

Dia pun menyarankan kepada Kemendes untuk tidak membuka kawasan baru transmigrasi. Yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan dahulu kawasan transmigrasi yang sudah dibuat. 

Pasalnya, dari yang sudah ada bisa dikatakan ada yang gagal. Penyebabnya karena ditinggal oleh transmigran yang balik ke Jawa.

Dengan pengoptimalan yang sudah ada berarti hanya tinggal melanjutkan yang kurang. Hal itu bisa mempermudah pemerintah dalam menarik minat masyarakat di Jawa juga nantinya.

Dia pun turut mengingatkan, jangan karena sedang berupaya pemerataan penduduk, pembangunan di Jawa diabaikan. Infrastruktur di Jawa juga perlu diperbaiki sebab penduduk masih dominan di sana.

Sumber: ValidNews

RELATED ARTICLES

TRANSLATE

Most Popular